Sumber Gambar Doc pri. Dwi Rukmi Endang
Di Balik Tajamnya Lidah
Oleh: Sri Sugiastuti
“Yaitu orang-orang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan dengan kezaliman, bagi mereka diberikan rasa aman dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah.”(Q.S. al An’am:82)
Seperti biasa sepulang sekolah aku sempatkan mampir ke rumah ibu angkatku, untuk sekedar say hello, dan melihat keadaannya apa dia baik-baik saja. Biasanya aku langsung berwudhu dan sholat dzuhur. Selesai sholat, kalau kebetulan ada sesuatu yang bisa dimakan, ya kami makan bersama. Ijah pembantu ibuku yang biasanya menyiapkan makan siang kami.
Belum jua aku mengambil nasi yang ada di magic jar, suara Ibuku sudah mengagetkanku.
“Jah koq sayur ibu asin banget sih, kamu pengen kawin ya! Dasar perawan tua, sudah dikandhani bola-bali koq yo dibaleni!”Astaghfirulllahalaazim.” Ibu marah besar hanya karena sayur yang dibuat si Ijah keasinan.
Ibu masih saja berkata kasar sama Ijah, mentang-mentang si Ijah sudah mengabdi pada keluarganya lebih dari 30 tahun. Aku malu mendengar perkataan itu. Tapi begitulah sifat jelek ibu. Selera makanku jadi hilang.
“Mbak , nanti aku diantar ke Solo Square ya, banyak barang discount besar-besaran di sana, kemarin sudah ada tas yang ku incar, tapi ketika mau beli aku sungkan sama mantuku!” Selesai makan ibu mengajakku untuk menemaninya membeli tas yang diinginkan,
“Ya Allah Bu, Bukannya tas ibu sudah banyak dan masih bagus-bagus pula…!” Kataku mencegah dengan halus keinginannya
“Tapi mbak, yang berwarna ungu tua seperti baju yang baru diambil dari tukang jahit itu belum ada stelan tasnya, " jawab Ibu memberi alasan.
.” Kalau untuk setelan baju baru itu, memang belum ada, tapi apa ya harus setiap baju baru dibelikan tas baru juga,” kataku dalam hati.
”Oke lah Bu besok ya aku antar, kalau siang ini aku masih ada urusan lain,” jawabku sedikit merayu.
Sampai rumah ketika aku leyeh-leyeh merebahkan badanku di atas tempat tidur, pikiranku melayang pada ajakan ibu angkatku tadi siang. Aku ngajak bicara hatiku.
“Ibu itu usianya sudah 79 tahun, tapi nafsu belanjanya koq masih besar ya? Apa masih pantas orang seusia dia mengoleksi barang-barang yang konsumtif seperti itu? Kepuasan apa ya yang didapat ketika bisa beli barang-barang bermerek seperti itu? Bukannya barang itu nantinya akan jadi rebutan anak-anaknya? Lah wong kemarin saja anak putrinya yang sulung sudah nembung tas merah yang dulu dia beli di Italy. Lalu anaknya yang putri lainnya ngiri. “Secara terus terang Tika si bungsu juga ingin memiliki barang koleksi ibunya.
“Mami kalau mbak Rina yang minta tasnya dikasih, aku minta juga dong Mam!” Ya ibu pernah cerita tentang anak-anaknya yang menginginkan barang milik ibunya.
Dahlia, nama ibu angkatku memang hidup berkecukupan, suaminya pensiunan pejabat. Anaknya juga jadi orang semua. Maksudte sukses gitu lohhh. Depositonya banyak. Semua keluh kesahnya ada yang nampung. Ingin baju model terkini pun tidak masalah, ingin makan enak di restro yang paling mahal pun oke-oke saja.
“Apa karena dia merasa selalu ada ya?. Sehingga pola pikir untuk belanja dari mulai jadi ibu muda sampai sekarang sudah oma-oma masih nafsu saja kalau ada barang bermerek yang didiscount.0 Padahal jatuhnya mahal-mahal juga,” Itu menurutku.
Sebenarnya satu-dua anaknya sih ada yang protes atas sifat ibu yang belum bisa berubah sejak dulu. Dia memang terkenal arogan, nyinyir, dan keras hati. Maka tidak heran bila akhirnya suami ibu lari darinya dan menikahi sekretaris yang ada di salah satu perusahaan yang dimilikinya. Ibu bisa bertahan walau diduakan karena dia tidak terlalu ngurus pada suami. Yang penting kebutuhan materi anak-anak dan dirinya terpenuhi.
“Silakan keluar dari kehidupanku Mas. Aku sudah tidak sudi kau sentuh lagi…! Tabu bagiku bermesraaan dengan orang yang sudah menzalimiku.” Dulu ibu pernah menceritakan kemarahannya ketika mengusir suaminya dari rumah yang mereka tempati.
Orang di luar sana yang melihat penampilan ibu, gaya hidupnya, dan caranya menghabiskan sisa umurnya, kadang kasihan atau ada juga yang berdecak kagum. Padahal mereka melihat segala sesuatu hanya dari permukaannya saja.
“Jangan dikira ibu bahagia dan baik-baik saja. Karena yang namanya penyakit tetap saja datang menggerogoti dirinya. Bersyukurlah ibu walau ibu punya penyakit borongan tapi tidak pernah dianggap serius, karena baru mengeluh sedikit saja, semua anak-anaknya begitu perhatian dan langsung bisa mengatasinya dengan baik.
“ Diana besok ibu ditransfer uang ya…Gigi Mami bermasalah lagi, jadi harus rontgen sebelum dioperasi.”
Pernah Ibu panik karena hidungnya tersumbat dan merasa napasnya terganggu karena sinusitis yang yang diderita sejak lama. Intinya ibu jadi sangat manja dan selalu minta perhatian lebih dari anak-anaknya.
Jadi kupikir apa karena terlalu lama diduakan dan ada yang salah pada pola pikirnya ya, sehingga ibu sukar mengendalikan diri. Nafsu belanjanya luar biasa dan sering mempermalukan pembantu di depan tamu, apalagi kalau tidak ada tamu akan lebih arogan lagi.
“ Mbak jangan nanya ke Ibu lagi ya…!Pokoknya janji ya…! Pinta Ijah dengan wajah memelas.
“Ada apa sih Jah ? Belum juga tau masalahnya sudah dipesan wanti-wanti begini?” tanyaku penasaran.
“ Entah Ibu lupa atau sengaja, tiap bulan gaji saya dipotong 200 ribu, katanya dulu ibu saya punya hutang yang harus dicicil dan sampai saat ini belum lunas. Padahal saya ngga tau mbak urusannya sejak kapan,” kata Ijah pelan.
“Kamu kan bisa bilang Mas Bayu, yang tanggungjawab memberimu gaji tiap bulan Jah. Bilang aja sama dia pasti ngertilah. Sifat Ibu memang seperti itu," bujukku.
“Iya tapi kapan lunasnya? Biar jelas gitu Mbak. Ijah tau uang Ibu banyak tapi kalau yang untuk hak Ijah koq selalu dipersulit ya…!” ujarnya dengan wajah muram.
“Tenang Jah. Nanti kalau waktunya tepat dan Ibu agak santai, aku bilang ya masalah gajimu. Kasihan Ibu kalau memang dia salah dan sering mengambil hakmu. Besok semua perbuatan baik dan buruk itu ada catatannya.
“Ah ngga usah Mbak…! Saya takut ibu marah,” cegahnya.
“ Lah gimana, mau dibantu ngga?” tanyaku lagi.
Aku banyak belajar dari kejadian ini dan bisa kugunakan untuk menata hatiku, paling tidak mengertilah kalau hal seperti itu tidak baik.
“Ternyata ada thoh! di dunia ini orang yang punya sifat zalim pada diri sendiri dan pada orang lain?” Ingatku kembali pada sikap ibu angkatku.
Kadang aku memikirkan nasib Ijah yang sudah mengabdi pada Ibu sekian puluh tahun sejak ia masih kanak-kanak. Si Ijah itu tidak pernah marah, maklum dia memang agak bodoh. (kalau pintar mana mungkin dia mau bertahan dan mengabdi sekian lama pada ibuku ).Sesekali kalau Ibu ngga ada dan aku datang maka Ijah punya kesempatan untuk curhat padaku.
“Ijah maafkan ibuku yaa!. Semoga kau mau melihat sisi kebaikan lain dari ibuku. Syukur-syukur dia insyaf sebelum ajal menjemput. Karena aku sangat prihatin dengan sifat jelek ibu. Andai saja dia ibu kandungku pasti akan kuberitahu bahwa punya sifat seperti itu tidak ada untungnya, alias tidak bermanfaat.” Semoga Ijah mau memaafkan ibuku.
Kalau kuingat lagi sejarah kehidupan ibu angkatku sungguh penuh perjuangan dan suka duka. Sifat keras kepala ibu bisa mengeluarkan bapak dari rumah. Sehingga Bapak menghabiskan hari tuanya bersama istri mudanya dan satu orang anaknya. Ibu tidak dicerai tapi hubungan mereka dalam membesarkan anak mereka selalu kompak. Jadi tidak heran bila keenam anak mereka sukses semua. Karena ibu bisa mengendalikan hatinya dan berjuang sekuat tenaga.
“Anakku harus sukses semua walau aku harus menggadaikan harga diriku pada saudaraku yang kaya dan mengabdi dengan segala perintahnya. Kangmas Ibu yang jadi menteri zaman orde baru ikut membantu kesuksesan anak-anak ibu.” Pada kesempatan lain ibu pernah menceritakan kehidupannya dalam membesarkan anak-anaknya padaku.
Ibu pandai menyimpan perasaan sebelum ia terserang darah tinggi. Ibu bisa menyulap perasaannya yang galau menjadi netral dalam keadaan kumpul keluarga atau dalam suasana di depan umum. Begitu juga untuk acara-acara keluarga bisa berjalan normal walau ditutupi dengan kepura-puraan. Demi menyenangkan hati anak, mantu dan cucu, Bapak dan ibu terlihat rukun dan damai di mata sanak saudara dan handai taulan.
Tiga tahun yang lalu Ibu dan bapak beserta keluarganya merayakan ulang tahun perkawinan beliau yang ke 50 tahun. Sebenarnya dalam hati geli juga sih. Jelas-jelas beliau tidak bisa rukun. Ibu juga hatinya sudah terlanjur luka. Meskipun saat ini beliau sudah sama-sama tua, tetap terlihat ada kecanggungan ketika harus duduk berdua di kursi pelaminan dan disalami oleh anak, mantu, cucu dan kerabat-kerabat lainnya yang diundang. Acara itu cukup meriah walau kesannya terlalu dipaksakan. Begitulah usaha anak yang ingin membahagiakan kedua orang tuanya.
Selang tiga bulan usai acara ulang tahun perkawinan emas beliau, Bapak mulai sakit-sakitan. Sebenarnya anak-anak menghendaki bapak mau kembali pada ibu dan dirawat di rumah sakit yang dekat dengan rumah ibu. Tapi Bapak kekeh tidak mau, mungkin gengsi atau dia menjaga perasaan istri mudanya. Ketika ibu melihat keadaan bapak yang makin hari makin tidak berdaya dan dokter juga sudah menyerah, ibu dengan membuang rasa gengsi mau menjenguk bapak dan meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan terhadap bapak.
“Maafkan aku ya Pak, selama ini aku keras kepala dan merasa benar. Padahal ini semua bukan hanya slahmu. Aku juga terlalu egois dan gengsiku cukup tinggi hingga aku biarkan kau lari dan memperistri sekretarismu itu.” Ibu sadar bahwa selama ini dia menjadi istri yang durhaka, mengusir bapak dari rumah, dan menguasai hampir semua harta yang beliau kumpulkan bersama.
Keadaan Bapak masih sadar ketika ibu datang dan meminta maaf. Bapak pun memaafkan ibu, karena bapak juga merasa bersalah, mungkin juga sudah tahu bahwa hidupnya tidak lama lagi.
“ Ibu, semua ini bagian dari kehidupan rumah tangga kita. Untuk apa disesali. Aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Makanya aku rela kau perlakukan seperti ini. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan hidupku, aku titip anakku ya!” Bapak berkata pelan di hadapan ibu.
Tepat seminggu setelah ibu menjenguk bapak, Malaikat datang menjemput Bapak. Tiada yang bisa menghalangi.
“Aku menyesal Pak, mengapa aku tidak memaafkanmu sejak dulu. Ketika kita mulai berbaikan dan saling menyadari kesalahan masing-masing, tapi Allah begitu cepat memanggilmu.” Ibu menangis sesegukan.
“ Ya Allah dulu Kau pernah mengujiku dengan membiarkan sikap zalimku kepada suamiku. Aku tega membuangmu jauh-jauh dari dalam hatiku sekaligus kehidupanku dan anak-anak. Aku tahu betapa menderitanya dirimu, tapi saat ini setelah Allah memanggilnya, bapak masuk lagi ke lubuk hatiku yang paling dalam. Ada apa ini? bisiknya.
Tidak ada lagi rasa jengkel, dendam, benci dan kemarahan terhadap ulah bapak yang dulu membuatnya begitu sakit hati. Yang diingat saat ini hanya kebaikan-kebaikan bapak. Kalau dulu bapak tidak berpangkat, mana mungkin ibu bisa jadi istri pejabat, kalau dulu karir bapak tidak cemerlang mana mungkin ibu bisa jalan-jalan keliling dunia, dan menunaikan ibadah haji, kalau dulu bapak tidak care sama anak-anak mana mungkin anak-anak bisa berhasil seperti sekarang ini. Kebaikan bapak ternyata banyak juga di hadapan ibu dan anak-anaknya.
Bapak memang manusia biasa, yang punya salah dan dosa, tapi cinta bapak pada anak dan keluarga memang luar biasa. Dia keluar dari rumah karena tidak ingin ribut dengan ibu. Sedang tanggungjawabnya sebagai seorang bapak tetap dipenuhi. Aku tahu semua itu karena sejak umur enam tahun aku sudah jadi anak angkat beliau berdua. Paham betul akan sifat ibu dan bapak.
Sejak kepulangan bapak, ibu tidak searogan dulu lagi. Dia paling getol mengingat-ingat kapan peringatan empatpuluh hari meninggalnya bapak, acaranya bagaimana, siapa yang diundang, masing-masing anak dan mantu diwajibkan hadir dan menyiapkan semuanya agar pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik.
Begitulah sifat manusia. Ketika orang yang dianggap merugikannya masih hidup, yang ada hanya kebencian, dendam, iri dan dengki. Tapi ketika orang itu tidak ada justru kebaikannya yang terlihat, dan yang tersisa hanya penyesalan yang tiada berguna.
Ibu begitu sibuk menyiapkan peringatan 1000 hari wafatnya Bapak. Untuk kegiatan ini ibu melibatkan aku. Jauh hari sebelum hari H ibu sudah menyusun acara, menu, souvenier, dan parnak-pernik acara itu. Padahal masih sepuluh bulan lagi tapi sudah diingat-ingat terus. Semua anaknya sudah masuk daftar dan siap-siap dengan instruksi ibu dari mulai beli kambing, kijing, souvenir untuk kerabat, sembako untuk kaum duafa, dan tetek bengek lainnya. Pokoknya semua harus berperan aktif dan ibu maunya peringatan ini bisa berjalan dengan sukses.
“Ibu…, ibu tidak ingat apa, waktu ibu mencaci maki bapak, karena ketahuan bapak menikah lagi dan punya anak. Ibu bakar semua baju bapak, dan ibu usir bapak dari rumah.” Mas Alif mengingatkan kelakuan ibu waktu marah besar kepada Bapak.
Maklum waktu itu ibu memang murka luar biasa ibu malu, kecewa, dan merasa dikhianati. Tapi dengan berlalunya waktu dan menjalani proses pengendapan alias cooling down, hati itu bisa jernih dan bisa menerima bapak dengan segala kekurangannya. Terutama menjelang sakratul maut menjemput bapak.
Kuhargai semua jerih payah ibu, untuk melupakan kepahitan cintanya karena dikhianati bapak. Kusesali kompensasi ibu yang berlebihan dengan melepas bebas hawa nafsu belanjanya, yang tidak ingat, usia, asas manfaat, dan pola hidup sederhana, selalu saja lapar mata, selalu saja termakan iklan, selalu saja ingin memiliki apa yang belum pernah dimiliki, padahal semuanya berorientasi hanya pada dunia. Nafsu untuk memiliki segala sesuatu yang branded masih saja lekat.
“Apa dia kira usianya akan mencapai seratus tahun? Dan masih bisa menikmati barang-barang tersebut? Aku kadang mengelus dada jika teringat kelakuan ibu.
Kalau dipikir dan dikaji sebenarnya ibu aktif ikut pengajian, tapi maaf maaf ya yang bisa diterima ibu baru sedikit sekali yang bisa diamalkan. Karena ibu mengamalkannya masih pilih-pilih. Ayat yang ini cocok untukku, kalau ayat yang keras melarang untuk dikerjakan, ibu masih mengelak. Contohnya ibu masih percaya dengan dukun, atau para normal. Alasan ibu itu salah satu dari ikhtiar untuk mencari kesembuhan. Padahal pengobatan yang diberikan sagat tidak nalar. Cukup hanya air mineral yang sudah di isi dengan wiridan bisa mengobati penyakit, dan juga memecahkan berbagai masalah.
Masih saja kepikiran di benakku.
“Mengapa nafsu belanja itu menguntit ibu terus? Ibu seharusnya bisa mengekang hawa nafsunya yang berlebihan, agar tidak jadi orang yang boros dan jadi temannya setan. Ingin sekali aku mengerem nafsu belanja ibuku, dengan mengatakan” Lebih baik uang itu disodaqohkan dari pada untuk beli tas”. Tapi aku tak punya hak .
“Siapa aku ini, koq berani-beraninya memberi saran seperti itu. Memangnya aku tahu kalau ibu dalam bersodaqoh kurang? ‘ Hati kecilku selal mengingatkan.
Kalau mulutnya yang nyinyir terhadap pembantu, sebenarnya aku juga risih mendengarnya. Apalagi si Ijah sering curhat sama aku. Aku bisanya cuma menenangkan hati Ijah
.” Maafkan ibu Jah, di mata Allah kamu manusia paling mulia, kalau kamu mau memaafkan ibu, dan mendoakan agar beliau cepat sadar dan tidak selalu memarahi dirimu. Maklumi saja sifatnya, kamu juga jangan ngeyel. Pokoke enggih enggih mengko ra’ kepanggih he he he.” Selalu aku menghiburnya.
“Wadoh, aku jadi takut dan was-was,usia ibu hampir kepala delapan, kalau sewaktu-waktu malaikat menjemput ibu belum nyadar, dan minta maaf sama si Ijah gimana?Kalau si Ijah selalu memaafkannya tanpa diminta, Kalau si Ijah ikhlas dan ridha dengan segala ucapan ibu yang menyakitkan., kalau tidak ciloko Ibu. Dan yang paling mengerikan bila tiba-tiba semua nikmat yang ibu dapat dari Allah dicabut, misalnya terserang stroke gitu, terus mulutnya mencong alias merot, apa dia masih bisa memarahi si Ijah karena lamban melayaninya, atau mengerjakan yang tidak pas dengan perintahnya. Belum lagi kalau sekonyong-konyong koder tidak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya, apa dia masih bersemangat ngajak aku hunting barang-barang merk yang sedang didiscont?” Mulai lagi aku berhalusinasi dengan pikiran kotorku.
“Weleh, weleh. Ternyata semua nikmat yang kita miliki bisa musnah seketika tanpa izin sebelumnya pada kita. Kita wajib bertobat setiap saat untuk dosa-dosa yang kita perbuat,baik yang disengajaja maupun yang tidak kita sadari. Sebab seringkali maksud dan niat kita baik, tapi bisa diterima tidak baik oleh orang yang merasa kurang pas untuk ukuran dia, atau kurang tepat waktu kita menyampaikannya.” Terus aja aku menelaah persoalan ini.
Aku berharap, ibu bisa berubah sedikit demi sedikit, dengan pedoman tidak ada kata terlambat, untuk bertobat. Aku berkewajiban mengubah mindsetnya agar tidak mengedepankan nafsu belanjanya., sifat terburu-buru alias kemrungsung, sifat arogannya pada pembantu, dan ketergantungannya pada paranormal.Aku kewatir ketika ibu “ dijemput”dia belum sempat bertobat.
“Hidayah tidak akan datang bila tidak diusahakan dan bila Allah tidak menghendaki.” Kalimat itu pernah aku dengar dari seorang Ustadzah yang sedang memberi pencerahan.
Sebelum ibu pergi untuk selamanya aku sempat berbagi dan aku lebih sering mengajak ibu ngudar roso dalam hal-hal yang menjurus pada kebaikan dan bercerita tentang orang-orang yang mendapat hidayah dari bacaan-bacaan yang pernah kubaca. Terutama yang kupakai untuk acuan dalam bercerita adalah dari buku “Riyadhus sholihin.” Kegiatan ini paling tidak bisa meminimalisir sifat ibu yang hobbynya hunting barang mewah, arogan dengan orang dan lebih percaya klenik dari pada Qur’an dan Hadist.
Selamat jalan ibu sayang, walau kau bukan ibu kandungku, tapi kau wanita hebat yang mewarnai hidupku. Bagiku kau wanita yang dikirim Allah agar aku sadar bahwa drunia penuh dengan kebaikan dan kemaksiatan. Pelajarilah dan jangan sampai ikut arus yang merugikan diri sendiri.
Bagian dari buku "The Stories of Wonder Women" By Sri Sugiastuti